Skip to main content

Kera Kere Alias Gelandangan!

KERA KERE ALIAS GELANDANGAN!
oleh: Bernard T.F Pangaribuan*)






Bila Anda pernah melintas di jalan raya menuju kota wisata kebanggaan (?) masyarakat kabupaten Simalungun Parapat/Danau Toba, tentunya pandangan mata Anda tidak akan alpa melihat kelompok-kelompok kera/monyet yang berpose di tepi badan jalan. Apakah hanya sekedar ingin turut merasakan kemajauan jaman? Atau hanya sekedar menghangatkan badan untuk mengusir dinginnya udara tadi malam? Atau malah ingin berdemo menuntut hak dan jatah sebagai penguasa kawasan? Sepintas, keberadaan mereka wajar-wajar saja dan malah menambah hiburan (eye-catching) bagi pelintas (kendaraan bermotor dan bermobil) yang lewat. Sayang, kita tidak dapat berkomunikasi langsung dengan ”kerabat dekat” itu untuk memperoleh jawaban sebenarnya. Namun, lihatlah wajah-wajah memelas dan menyentuh hati mengharapkan belas kasihan manusia-manusia yang lewat untuk sekedar sesuap kacang atau apapun yang dengan sukarela mereka lemparkan diiringi senyuman dan cekikian tentunya. Tapi perhatikan juga sorot mata tajam yang menuduh seolah menyiratkan dendam yang membuat mereka terpaksa berada di tempat yang sesungguhnya sama sekali tidak mereka inginkan, mereka telah dengan sangat terpaksa menurunkan harga diri dengan menjadi gelandangan dan pengemis kere di wilayah mereka sendiri. Mereka telah berpindah dunia. Sang penguasa kawasan takluk!
What’s the matter? Secara logika sederhana kita dapat menduga bahwa tentunya kelompok-kelompok kera tersebut pastilah kekurangan pakan. Habitatnya tidak mampu lagi mendukung kehidupan mereka atau dengan kata lain populasi mereka melebihi daya dukung (carrying capacity) habitatnya. Namun ada hipotesa lain yang mungkin saja bisa terjadi yaitu kemungkinan adanya gangguan (nuisance) yang tentunya oleh aktivitas manusia di sekitar atau dalam habitatnya. Kalau sudah begini tentunya kawasan itu tidak layak lagi dikategorikan sebagai habitat karena definisi habitat itu sendiri adalah tempat hidup untuk berlindung (coverage), mencari pakan (food) serta tempat untuk bereproduksi (mating) ,berkembang biak dan membesarkan anak (offspring). Dalam dunia satwa liar, ada dua jenis kelompok pakan yang biasa dikonsumsi yaitu makanan utama (preferences food) dan makanan subsisten (subsistence food). Kelompok pakan pertama adalah jenis pakan yang sangat disukai dan merupakan pilihan pertama, bila tersedia. Bila tidak tersedia, maka jenis pakan kelompok kedua akan menjadi pilihan santapan. Ibarat tidak ada rotan akarpun jadi menggambarkan derajat/level jenis pakan kelompok dua ini. Namun apa jadinya bila sampai satwa-satwa sama sekali tidak memperoleh kedua jenis kelompok pakan ini, seperti yang diduga dialami oleh saudara kita itu? Berarti ada masalah ekologi yang cukup serius di kawasan tersebut. Sepertinya kawasan tersebut hanya bisa dipakai untuk tidur di malam hari saja.
Ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam keberlangsungan hidup dan generasi satwaliar. Satwa liar akan secara alami bereproduksi apabila tersedia pakan yang cukup melimpah di sekitarnya. Periode musim kawin (mating season) akan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pakan. Hal yang sama berlaku juga bagi masyarakat sosial kera, periode musim kawinnya disesuaikan dengan kondisi ketersediaan pakan. Kera-kera dapat lupa bereproduksi apabila sulit dan jauh dalam memperoleh pakan. Akibat terlalu capek dan tidak dalam kondisi fit, kera akan menunda periode musim kawinnya. Kera hanya akan kawin apabila tersedia pakan yang cukup dekat untuk didatangi dan sebagai antisipasi bagi bayi (offspring) yang nantinya akan lahir. Kalau begitu, apa yang terjadi dengan habitat lamanya? Mengapa mereka sampai kekurangan pakan? Atau gangguan apa yang mereka alami? Kera merupakan makhluk sosial yang hidup berkelompok dan dipimpin oleh se”orang” jantan terkuat. Jantan ini menempati posisi tertinggi dan menguasai seluruh harem yang ada. Antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial yang lain dibatasi oleh daerah kekuasaan masing masing (teritory). Sekilas, terdapat beberapa kelompok kera yang kerap kelihatan nongkrong di tepi badan jalan raya. Bisa jadi mereka adalah kelompok-kelompok terlemah dalam kawasan yang terusir dan kalah bersaing (competition) dengan kelompok yang lebih kuat yang menguasai kawasan. Atau kemungkinan mereka adalah kelompok pendatang dari kawasan lain yang tidak memiliki ”lapak” disana. Yang pasti mereka telah terdesak akibat penyempitan kawasan. Kera memiliki luasan teritorial yang tidak boleh dimasuki oleh kelompok kera lainnya. Kompetisi ruang bisa terjadi akibat kelebihan populasi (over population) atau populasi normal tapi luasan menyempit. Namun apapun penyebabnya, satu hal yang terjadi adalah ketidakseimbangan ekosistem terjadi disana. Akhirnya, diperlukan penelitian yang lebih komprehensif untuk lebih ilmiah soal sebab musabab kondisi ini. Mereka bukanlah objek tapi sebagai subjek dalam ekosistem kawasan lindung. Para kera-kera itu bukan sebagai objek tontonan dan penghilang rasa lelah tapi lebih dari itu mereka adalah bagian penting dalam keberlangsungan kawasan lindung. Semoga pihak-pihak yang berkompeten atau volunteers menaruh perhatian agar bisa mengakomodasi kepentingan kera-kera gelandangan dan kere tersebut!

*) Widyaiswara Balai Diklat Kehutanan P. Siantar

Comments

Popular posts from this blog

Meramu Pupuk Majemuk NPK Sendiri

MERAMU PUPUK MAJEMUK NPK SENDIRI oleh: Bernard T.F Pangaribuan*) Menyiasati mahalnya harga pupuk kimia (anorganik) akhir-akhir ini, mendorong para pelaku usaha di bidang pertanian dan perkebunan memutar otak untuk mencari alternatif lain guna menekan biaya produksi yang semakin tak terjangkau apalagi bagi para pelaku tradisional yang hanya mengandalkan pembiayaan secara konvensional. Beragam alternatif pupuk-pupuk organik ditawarkan ke pasar seperti kompos dan berbagai macam pupuk organik cair lainnya. Pada dasarnya pemanfaatan pupuk organik dalam jangka panjang akan sangat menguntungkan karena selain terhindar dari ancaman kontaminasi zat kimia, kegemburan dan kesuburan tanahpun dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Namun disisi lain, pengaplikasian pupuk organik tidak secepat pupuk anorganik dalam memberikan hasil. Bagi pelaku usaha yang ingin memperoleh hasil yang lebih cepat dan banyak pastilah lebih memilih pupuk kimia daripada pupuk organik. Namun pemakain pupu

Kota Medan Butuh Sedikitnya 780.000 Pohon

KOTA MEDAN BUTUH SEDIKITNYA 780.000 POHON oleh: Bernard T.F Pangaribuan*) Dalam rangka menyambut hari Tanam Pohon Indonesia yang telah ditetapkan oleh Bapak Presiden SBY pada setiap tanggal tanggal 28 nopember, merupakan momen yang tepat untuk kita merenung sejenak bersama tentang kondisi kota Medan saat ini. Pesatnya laju pembangunan sarana dan prasarana fisik di wilayah kota Medan dan sekitarnya telah berdampak pada berkurangnya populasi tegakan pohon, baik yang berada di ruang-ruang terbuka publik, maupun yang berada di ruang-ruang milik privat. Pada sisi lain kegiatan-kegiatan industri, transportasi, konstruksi, perdagangan, pusat-pusat perkantoran dan aktivitas rumah tangga berkembang demikian pesat, dengan dampaknya ialah akumulasi aneka jenis polutan di lingkungan kota, termasuk di udara, frekuensi dan potensi terjadinya banjir akibat semakin menyusutnya wilayah-wilayah resapan air. Kedua fenomena ini pada akhirnya mengakibatkan penurunan kualitas udara, dan mengurangi ti